Sebuah nada khas berdering dari
Hpku, nada khusus yang menandakan panggilan dari suamiku, aneh pikirku tak
biasanya Abi meneleponku jam-jam segini, ternyata dia menelepon untuk
mengajakku keluar, meski tidak jelas kemana tujuannya aku mengiyakan saja. Suamiku
datang tepat setelah ku akhiri sholat maghribku, kulihat wajahnya tampak
berseri-seri penuh semangat sampai-sampai dia seperti hendak berlari ketika menghampiriku.
“Ada apa sih Bi, tumben..
dandanan kamu rapi, hemmm…. harum banget”.
“He he he…”
“Jangan
bilang kalo kamu mau menemui pacar kamu yah?”, tanyaku dengan pura-pura
cemburu.
“Emang iya,
aku khan mau menemui pacar terhebatku”.
“Oh ya,
emang kamu sudah menemukan calon istri mudamu?, tanyaku menyelidik
“Hemm…., ada
aja, he he he…., sudah siap belom kamunya Mi?,”
“Siap ?,
siap apaan?, melamarkan wanita untuk jadi saudariku?”.
Kuperhatikan
lagi dengan seksama wajah suamiku, tapi tak kudapatkan jawaban yang
kuharap-harapkan, suamiku hanya mengangkat bahunya sedikit, sambil mengedipkan
kedua matanya dengan lucu.
“Okey, siapa
takut, kita berangkat sekarang?”, tanyaku dengan antusias meski hati kecilku
sedikit ada rasa katakutan campur was-was.
Sepanjang
perjalanan, perasaanku mendadak cemas, duh.. apa benar aku akan dipertemukan
sama calon istrinya Abi, sambil berusaha menata hati kuperhatikan Abi
bersenandung kecil sepanjang perjalanan, hmmm…. Abi kelihatan bahagia sekali,
mungkin ini memang sudah waktunya. Masih
teringat jelas olehku, percakapan kami 1 tahun yang lalu tentang tawaranku ke Abi
untuk berpoligami dan sejak saat itu aku punya aktivitas baru yakni meyakinkan
Abi untuk menyegerakan poligami dan juga hunting calon bidadari kedua untuk
Abi. Mungkin terlihat konyol atau bahkan gila ada istri yang menyuruh suaminya
poligami, tapi bagiku poligami bukanlah hal yang salah, bahkan aku akan sangat
menantikan saat-saat itu, saat dimana imanku akan diuji dengan kesabaran dan
rasa cemburu yang sangat luar biasa.
“Mi, sudah nyampek nih.. ayo turun !”, kata suamiku mengngagetkanku.
“Oh, ya ya..
sudah nyampek ya?”.
Setelah
bersusah payah menata gejolak hati, keperhatikan sekitarku, tatapan mataku
terhenti pada sebuah plang nama “Warung Apung”, hemmm… warung apung, sebuah
tempat makan untuk keluarga yang merupakan tempat pertama kalinya aku bertemu suamiku,
hampir 7 tahun silam. Pertemuan yang sengaja di rancang sahabatku untuk
mempertemukan kami berdua. Apakah ini juga akan menjadi tempat pertemuan
pertamaku dengan si calonnya Abi ?? Mendadak kakiku terasa lemas, serasa sulit
sekali hendak melangkah dan kurasakan air mataku sudah mulai menggenang..
“Ayo Mi, kok malah diem?”. Kata suamiku sambil menggadeng mesra tanganku.
Hemmm….,
kenapa aku mesti takut, bukankah ini yang aku nanti-nantikan, toh selama ini
aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya, kalo memang sekaranglah saatnya, aku
akan memulainya dengan senyum dan sepenuh hatiku.
Bismillaih…… doaku dalam hati.
Kami berdua
menuju tempat, yang sepertinya sudah di pesan suamiku, tapi kok gak ada
siapa-siapa, mana calonnya Abi ?? atau mungkin belom datang ya?, pikirku.
Hampir 10
menit kami menunggu pesanan datang tapi tak terlihat olehku calon saudariku,
tapi aku juga tidak berani untuk sekedar bertanya pada suamiku.
“Mi,
kuperhatikan dari tadi kamu kok diem aja?, gak suka ya aku ajak makan di luar?”.
Entahlah aku
seperti tidak memiliki koleksi kata-kata untuk sekedar menjawab pertanyaan
suamiku, otakku buntu sibuk memikirkan si calon saudariku, jadinya hanya
senyuman kecil saja yang suami dapatkan sebagai jawaban pertanyaannya, meski
wajahnya mengambarkan ketidakpuasan suamiku akhirnya diam juga.
“Bi, ..”, akhirnya kuberanikan
diri untuk bertanya.
“Sebenarnya, apa sih tujuan Abi
mengajak Umi kemari?, Abi mau ngomong sesuatu ya?”. Kucoba untuk terus menekan
Abi agar segera berbicara, sungguh aku sudah tidak sanggup lagi untuk menunggu.
“Mi, apa Umi sudah bener-bener yakin dengan keputusan Umi, mengikhlaskan Abi poligami?”.
“Mi, apa Umi sudah bener-bener yakin dengan keputusan Umi, mengikhlaskan Abi poligami?”.
Kucoba
tersenyum semanis mungkin, berharap suamiku tidak melihat sedikitpun keraguan
di mataku.
“Insya Alloh, Bi”. Kataku dengan mantap.
“Insya Alloh, Bi”. Kataku dengan mantap.
“Kalau Abi
ternyata nantinya tidak mampu berbuat adil, gimana”.
“Insya
Alloh, Umi akan mengingatkan”.
Kuperhatikan
Abi sedang berfikir keras, matanya menatap nanar ke arahku, seolah-olah ingin
mencari sedikit keraguan disana dan berharap ia mendapatkan sedikit alasan
untuk membantah argumenku.
“Oh ya, mana
nih si calonnya?, kok belum datang juga?” tanyaku kemudian untuk sekedar
mengalihkan perhatian Abi, jujur aku merasa tidak nyaman kalau Abi sudah
menatapku penuh selidik seperti itu.
“Sebenarnya,
tujuan Abi mengajak Umi kemari bukan untuk meperkenalkan Umi dengan siapapun,
Abi hanya berharap Umi mengingat memory indah kita, dan pada akhirnya Umi
berfikir ulang tentang poligami, jujur Mi, sebenarnya yang pantas untuk nikah
lagi itu Umi, seandainya saja Islam menghalalkan Poliandri, aku ingin Umi nikah
lagi”.
“Masya Alloh
Abi, Jangan Bilang begitu, Istighfar Bi”.
“Maaf Mi,
Bukan maksudku untuk protes kepada Alloh, aku hanya ingin mengungkapkan isi
hatiku, aku sudah capek berdebat dengan Umi, sekarang semuanya terserah Umi
saja dan mengenai calon aku serahkan sepenuhnya ke Umi, aku yakin Umi tahu yang
terbaik buat aku dan juga buat semuanya”.
"Bi,
aku mohon jangan anggap ini hanyalah sebuah perdebatan, bagiku Abi adalah sosok
suami idaman, harta abi punya, ilmu juga alhamdulilah, saya rasa sudah
sepantasnya kalo Abi berpoligami, selain itu masyarakat saat ini membutuhkan
contoh real tentang indahnya poligami, kasihan mereka hanya melihat poligami
dari sisi yang menakutkan, aku ikhlas kok kalo Abi tampil sebagai contoh".
"Tapi Mi, kenapa harus keluarga kita?".
"Karena
keluarga kita yang paham dan mau mencoba".
2 HARI KEMUDIAN
“Bi, aku mau
memperkenalkan Abi pada seseorang”, Kataku di telepon waktu itu..
“Siapa?”,
jawab suamiku tidak bersemangat.
“Aku sudah
menemukan calon buat Abi, kita ketemuan yuk di tempat biasa, nanti mbaknya aku
ajak juga”.
“Tapi Mi, aku agak sibuk sekarang”.
“Tapi Mi, aku agak sibuk sekarang”.
“Bi, aku
tahu Abi nggak siap, dan sengaja mengulur-ngulur waktu, percayalah Bi semuanya
akan berjalan dengan indah, Insya Alloh”.
“Hemmm…,
bantu aku ya Mi”.
“Ya dong,
selalu, Umi gitu lho he he he….”. jawabku sambil sedikit melucu.
Namanya Arum, umurnya lebih muda 1 tahun dariku, dia sudah 3 tahun menjanda dengan 2 orang anak, suaminya telah lebih dulu dipanggil Yang Diatas, saat ini dia hanya hidup dengan neneknya karena kedua orang tuanya sudah lama meninggal dunia. Anaknya manis, sabar dan sedikit pendiam. Dia adik kelasku ketika di SMU dulu, Aku sudah mengenal Arum luar dalam, bahkan akulah yang menjodohkan dia dengan almarhum suaminya yang merupakan sahabat dekatku.
Suamiku
tidak mengiyakan, meskipun dia juga tidak secara terang-terangan menolaknya,
tapi aku yakin Beliau memikirkannya, terbukti ketika malam harinya ku tanya
tentang calon saudariku “Facenya mirip kamu ya Mi”, komentarnya malu-malu.
Perkenalan berjalan lancar dan kamipun menyegerakan pernikahan ini, namun 2 jam setelah akad nikah, suamiku jatuh pingsan dan dokter mendiagnosa Beliau terkena flu burung dan harus di rawat di rumah sakit di Ibu kota, saat kutahu Abi terkena penyakit yang memang saat ini sedang mewabah di daerah kami, aku merasa sangat bersalah, bagaimana mungkin tanda-tanda sakitnya Abi tidak ku ketahui sama sekali, apa aku tidak lagi memiliki sedikitpun rasa perhatian ke Abi dan terlalu ngoyo dengan pernikahan ini ataukah memang si Abi yang sengaja menutupi semuanya, hampir 3 minggu Abi menjalani proses pengobatan dan selama itu pula anak-anak tiriku berada di bawah pengawasanku, karena tugas menjaga Abi aku serahkan ke maduku, selain karena banyaknya urusan pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan, juga itung-itung memberi kesempatan pada pasangan pengantin baru untuk berbulan madu.
Mungkin ini
semua sudah takdir Sang Maha Pengatur, belum sempet Abi menikmati indahnya
bulan madu keduanya secara wajar, beliau sudah menghembuskan nafas terakhirnya
meninggalkan aku dengan sebuah hadiah indah “maduku” dan anak-anaknya. Aku
sangat syok dengan semua ini bertahun-tahun aku mengusahakan pernikahan kedua
suamiku, tapi rupanya Alloh berkehendak lain, bukan ujian kecemburuan yang aku
dapatkan tapi ujian di tinggal suamiku yang justu kurasakan.
7 bulan aku
menikmati hidup seatap dengan maduku dan anak-anaknya, tanpa suami ataupun Ayah
bagi anak-anak kami, Semua berjalan baik
tidak pernah sekalipun kami menghadapi masalah yang berarti, bagiku maduku
adalah adik terhebatku, anak-anaknya juga sangat manis dan mudah bergaul,
ah….seandainya saja.
Tapi sungguh
kehendak Tuhan memang penuh rahasia, lagi-lagi ujian itu datang, aku dilamar
oleh Saudara jauh dari maduku untuk menjadi istri keduanya, beliau adalah
seorang Murobbi yang memiliki usaha di bidang percetakan dan saat ini sedang
mendapatkan ujian jabatan menjadi anggota dewan meski masa kerjanya tinggal 1
tahun lagi.
Ketika Mbak
Fatih yang merupakan istri pertamanya melamarku untuk menjadi madunya, betapa
kulihat bayangan diriku beberapa tahun yang lalu pada dirinya, meski telah
kucoba mengajukan berbagai pendapat untuk sekedar menghindar dari tawarannya,
namun semakin aku menolak semakin kuat pula permintaan yang dia tawarkan.
“Sungguh
mbak, menjadi saudarimu adalah suatu keindahan, tapi aku belum siap jika harus
mengambil jatah cinta atas diri suamimu”.
“Apa yang
terjadi padamu wahai saudariku, mana pribadi anggunmu yang dulu pernah menjadi
penghias dirimu, menjadi istri kedua suamiku tidaklah berarti kamu merampas
cintanya dariku, seandainya saja kamu bisa melihat betapa luas dan melimpahnya
kasih sayang yang Beliau miliki, niscaya kamu akan merasa malu telah
berkata demikian”.
“Tapi mbak,
bertahun-tahun aku mengusahakan pernikahan suamiku, kenapa sekarang kondisinya
berbalik tak tertebak sedemikian mengejutkan, aku tak tahu bagaimana meski
bersikap, beri aku waktu mbak”.
“Tentu
Saudariku, pikirkan masak-masak, istikharohlah, tapi kalau misalkan pernikahan
kedua suamiku adalah suatu keniscayaan, aku sangat yakin kamu mampu membantu
suamiku untuk berbuat adil, seperti yang telah kamu usahakan terhadap almarhum
suamimu dulu”.
Kini aku
tidak lagi sibuk merayu suamiku untuk berpoligami, tapi kali ini aku sibuk menata
hati dan diri agar bisa menjadi madu yang tidak sekedar mengambil jatah cinta
orang lain, tapi turut serta secara bersama-sama menyuburkannya, karena
bagaimanapun cinta dihati adalah hak sang maha berhak, kita sebagai manusia
hanya mampu menjalankan segala skenario takdir atasnya, tanpa mampu
mengendalikan arahnya.
Pernikahan
keduakupun terlaksana dengan penuh khidmat dan haru, sepanjang prosesi air
mataku tumpah tak terbendung karena masih tak percaya atas semua rahasia takdir
hidupku, bahkan ketika suamiku memasuki kamar, aku masih tergugu tak percaya
bahwa aku telah menjadi istri sahnya, dan sepertinya Beliaupun menyadari akan
kegalauan hatiku. Dengan penuh lembut Beliau menyapaku.
“Assalamu’alaikum
Mi?”, Subhanalloh, panggilan itu kini kudengar lagi dari mulut suamiku,
laki-laki yang tak sama, yang kini telah menjadi Imam dalam seumur hidupku.
“Kita sholat
Isya’ berjama’ah yuk?”, ajaknya kemudian ketika salamnya hanya mampu kujawab
dalam hati.
Bergegas ku
ambil wudlu, dan dengan sigap kugelar 2 sajadah untuk kami berdua, kali ini
kurasakan sholatku sangat khusyuk luar biasa, dan untuk kesekian kalinya air
mataku merembes dari sudut-sudut mataku, ketika kusimak do’a pajangnya sebagai
permohonan do’a restu kepada sang pemilik segala, secara perlahan mulai
kurasakan ketenangan di hati, galau itu kini meleleh mendekati sirna, semoga
pernikahan ini menjadi sebuah keindahan yang penuh berkah, sebelum akhirnya
kucium tangan suamiku sebagai tanda kepasrahan atas diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar