Mengenai Saya

Foto saya
Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia
Semangat tinggi dalam mengarungi sebuah bahtera kehidupan. Jangan sekali - sekali menyalah gunakan kepercyaan yang telah orang lain tanam dalam diri anda dan yakinlah setiap kesuksesan itu muncul karena adanya suatu keyakinan yang mantap dalam diri anda sendiri!!!!

Sabtu, 21 Juli 2012

SEPENGGAL KISAH CINTA MAYA


Telah lebih dari 4 jam dari waktu yang mereka sepakati, namun tak sedikit pun terlihat tanda-tanda kemunculan si gadis. Entah sudah berapa banyak sms yang dia kirimkan dan tak terhitung lagi berapa kali dia mencoba menghubungi. Semuanya tak membuahkan hasil. Dia masih sendiri, duduk termenung menghitung waktu. Meski tidak begitu yakin si gadis akan datang menemuinya, namun entah mengapa kakinya terasa sulit sekali untuk sekedar digerakan kembali. Kembali ke arah asal datangnya.

Si kumbang nama laki-laki itu. Berperawakan tinggi besar, kulit sedikit gelap, mata sipit dengan logat betawi yang kental. Mencirikan tentang sosok laki-laki yang berasal dari kota kelahiran Benyamin. Demi sebuah harapan semu bertemu bidadari impiannya, dia tempuh perjalanan panjang. Dengan mengendarai sebuah motor butut peninggalan ayahnya, menuju kota dingin di kaki gunung arjuno.

Untuk sekedar menghilangkan sepi dihati dalam abu-abu penantiannya, kembali memorynya dipaksa untuk memutar rangkaian cerita bahagia, selama lebih dari 1 tahun perkenalan mereka. “Fairuz” sebuah nama indah yang menggambarkan sosok si gadis yang selama ini selalu menjadi langganan mimpi indahnya. Masih teringat jelas sapaan ringan pertamanya. 
 
“Alooo, aku Fairuz wanita dari kota Apel, cantik, manizzz dan baik hati he he he…, kenalan yukkk”.Begitu ceria, energik, anggun, penuh semangat. Begitulah bayangan pertama kali yang dia tangkap tentang sosok si gadis. Benar saja ternyata setelah beberapa waktu lamanya mereka saling berbagi asa di dunia maya, si gadis tak jauh beda dari perkiraannya.

“Ass….Mas gantengku, dah lama khan kita saling ngobrol di dunia maya, ketemuan yukkkk”, ajak si gadis 2 hari yang lalu. Mendadak hatinya menjadi tak menentu saat itu. Antara bahagia dan takut menerima ajakan si gadis. Bahagia karena akhirnya dia bisa melihat si gadis impiannya, namun takut jika ternyata dia bukanlah seperti harapan si gadis. Butuh lebih dari 5 menit untuk sekedar menjawab “Iya”. Sampai akhirnya sebuah sapaan “BUZZ” menyadarkannya, bahwa ada wanita special yang sedang menungu jawaban. Dengan ragu-ragu dan gemeteran akhirnya ditulis juga tiga huruf itu. Terlihat face si gadis sungguh bahagia di webcam. Jari-jarinya pun menulis dengan lincahnya di tuts keyboard. Seolah-olah tak ingin memberinya kesempatan untuk berfikir ulang, tentang rencana pertemuan mereka.

“Key…, kutunggu 2 hari lagi ya, aku akan pakai baju hijau tua dengan bawahan celana hitam, miss u n take care always”, kata terakhir si gadis sebelum menyudahi percakapan mereka waktu itu.
 
@@@
Tak jauh dari tempat si lelaki, ada sesosok manusia cantik, yang sejak 6 jam yang lalu diam mematung. Mengamati setiap gerak si lelaki yang selama ini selalu datang dalam tidurnya. Dialah si Fairuz, umurnya sekitar 25 dengan gaya dandanan layaknya ABG. Lengkap dengan jaket trendy yang sengaja dia gunakan untuk menyamarkan diri.

Tatapan mata si gadis tak lepas dari pria yang memakai T-shirt warna biru tua, di padu jins belel dengan tas ransel dipunggungnya.
“Kamu nanti pakai baju apa?”, tanya si Fairuz pada lelaki mayanya dua hari lalu. Dan jawaban yang dia dapatkan, persis seperti tampilan lelaki yang sedang termenung tak jauh dari tempatnya. Entah apa yang menghalangi dia, untuk sekedar datang menyapa si lelaki. Baginya gambaran yang selama ini terpatri indah di hatinya tentang sosok lelaki dunia mayanya, jauh dari kata mirip. Pikirannya meloncat-loncat tak jelas. Sebentar-bentar sedih, kecewa namun tak jarang tiba-tiba marasa sangat bahagia. Duduknya mulai gelisah, matanya seolah-olah ingin menyapu setiap sudut yang terjangkau pandangannya. Semakin dia berusaha mencari sisi positif dari lelaki itu, semakin dia mendapatkan kenyataan bahwa lelaki itu jauh dari kata sempurna.. Tampak air matanya mulai menetes. Sebagai pertanda dia berada pada posisi kebingungan yang memuncak. Akhirnya dia pun memutuskan untuk tidak menemui si lak-laki. Berbalik arah pulang ke rumah. Sambil berjanji dalam hati untuk tidak chat lagi sama si lelaki itu.

Ternyata si lelakipun demikian adanya. 6 jam dalam penantian yang tak jelas, memaksa dia untuk mengamini bahwa si gadis tak mungkin datang menemuinya. Meski agak berat, akhirnya langkah pertama untuk kembali pulang ia ambil juga. Namun naas segerombolan penjahat datang menodongnya. Seolah dia sudah kehilangan kewarasannya atau mungkin karena emosinya yang sudah tak terkendali, dia paksakan untuk melawan. Jelas bukannya kemenangan yang dia dapatkan, tapi pertemuan dengan malaikat penjemput nyawalah yang terjadi berikutnya. Dompet, hp dan harta berharga miliknya raib, yang tersisa hanyalah sebuah tas lusuh dengan sebuah amplop surat yang sepertinya telah siap untuk di poskan.

Polisi kesulitan mengidentifikasi si lelaki, karena semua identitas pribadinya hilang. Hanya amplop berwarna coklat beralamat lengkap dengan nama si penerima “FAIRUZ”, yang di dapatkan polisi. Entah karena merasa terpanggil ataukah rasa penasaran yang memaksa polisi itu mengantarkan surat kepada si penerima. 

“Maaf, apa benar Anda bernama Fairuz?, tanya polisi pada sutu hari setelah kematian si lelaki. Fairuz…???, darimana polisi tahu nama panggilan istimewa itu. Bukankah hanya si lelaki maya saja yang memanggil dengan nama itu. Mungkin karena syok atau mungkin juga bingung karena kedatangan polisi, yang sepertinya tahu banyak tentang dia dan lelaki mayanya, maka hanya gelengan kepala yang dia berikan sebagai usaha untuk tidak bicara banyak. Tanpa diminta polisipun menjelaskan kenapa dan mengapa dia datang termasuk tentang kematian si pemilik surat ini. Bagai disambar halilintar, Fairuzpun terduduk lemas di lantai, sambil merebut surat itu dari tangan polisi. Seperti memaklumi polisipun hanya diam saja, membiarkan si gadis membuka paksa surat coklatnya.

* @@ *
Dear My Fairuz…..
Semalam penuh aku mencoba merangkai kata-kata ini. Dengan harapan surat ini tak terbaca olehmu. Karena dengan begitu berarti ada pertemuan diantara kita. Jujur aku tak yakin bisa bertemu denganmu. Ketakutan terbesarku adalah kamu tidak bisa melihatku secara utuh. Bagimu aku adalah kata-kata romantis yang selalu menghiasi layar komputermu. Laki-laki dengan sejuta puisi yang selalu menghujanimu dengan kata-kata indah. Tapi kenyataannya, aku bukanlah seperti harapanmu. Bahkan jauh lebih buruk dari yang kamu bayangkan. Aku tidak menyalahkanmu kalau memang kamu tidak mau menemuiku, meski hanya sekedar menawarkan tali persaudaraan. Namun hal ini tidak menghalangiku untuk mengungkapkan rasa sayangku ini, walaupun hanya bisa kuungkapkan dalam goresan pena.

Duhai Cinta mayaku…
Sungguh engkau adalah wanita sempurna. Tidak banyak yang ku harapkan darimu, meski hanya sekedar memintamu menjadi saudarikupun aku tak berani. Bagiku cukuplah menikmati satu tahun bersamamu, meski hanya didunia maya. Terima kasih atas tawaran pertemuan ini. Terima kasih atas senyum indahmu, cerita lucumu, dan segalanya tentangmu. Semoga kamu bahagia dengan keputusanmu untuk tidak menemuiku. Akan kubiarkan rasa penasaran ini bersamaku selamanya, dan setiap menit kenangan denganmu kan kujadikan penghibur hatiku yang rapuh ini.
Dari cinta mayamu
"Sikumbang"

Tak diperhatikan lagi pertanyaan-pertanyaan Polisi itu. Saat ini yang dia inginkan hanya sendiri dan berharap si cinta mayanya hadir disini. Menikmati senyumnya, candanya dan semua yang dia miliki. Surat singkat itu telah membuka mata hatinya. Merobek-robek sisa kesadarannya dan membawanya menikmati mati kecilnya .... pingsan. 
 

Tersibaknya Kabut Tipis

Senja ini kulihat begitu romantisnya, setiap detik sembunyinya matahari kebalik gunung merapi kunikmati dengan senyuman, cahayanya yang lebut, warnanya yang jingga keemasaan, sungguh perpaduan yang sempurna jika dilihat dari taman kecil belakang rumahku.

Seandainya saja kamu sekarang ada disini, bersamaku menikmati potongan-potongan senja ini, menghitung mundur pertukaran tempat antara raja siang dan malam, sungguh.., aku sangat merindukanmu, sosok ceriamu, hadir disini bersamaku.

“Suatu hari aku akan disisimu, menemanimu bercanda dengan senja”
Janjimu ketika kuceritakan tentang indahnya senja di belakang rumahku.

Nyaringnya gema adzan dari musholla kecil diujung jalan kampung membuyarkan kemesraanku dengan sang senja, bergegas kuambil wudlu sebelum jamaah maghrib itu meninggalkanku.
“Makanya sebelum adzan itu datang ke musholla, biar nggak ketingalan sholat jama’ah”, omelan yang sama dari sosok Emakku, setiap kali aku telat sholat berjama’ah.

Meski dengan susah payah, kupaksakan juga untuk tidak telat kali ini, aku yakin mereka mau menungguku untuk menjadi salah-satu bagian dari makmum jamaah sholat. Sehingga omelan mesra emakku tak akan ku dengarkan kali ini.
                                                                                  
****
“Kamu kok ceria sekali Le, ada apa??, nggak biasa-biasanya kamu seperti ini, hayoooo…, lagi jatuh cinta ya??”
“Ah Emak, ada-ada saja, nggak kok, hanya merasa sedikit bahagia aja”,
“Yo wes, terserah kamu, kalau memang gak mau berbagi, asal kamunya seneng Mak manut saja”.
Maafkan anakmu Mak, sungguh tidak ada sedikitpun maksudku untuk menyembunyikan semuanya dari pandangan polos matahatimu, tapi aku takut keyakinan semu ini benar-benar semu adanya, biarlah kunikmati sendiri kebahagiaan kecil ini karena aku tak tahu kapan semuanya ini kembali berakhir seperti beberapa kisah lain dalam hidupku.

Lampu kamar kunyalakan, tanda ON di laptopku kutekan, dan secepat kilat layar monitor berlatar belakang foto kamu menyapaku ramah, tak butuh waktu lama sebuah fasilitas internet telah menunggu masukan ID dan passwordku.

“Hai…, Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikum salam, kok baru OL mas, katanya tadi sore mau OL?”.
“Maaf, aku tadi terbius oleh keindahan senja, entah kenapa pesonanya selalu saja memabukanku”.
“Hemm…, kapan ya aku bisa menikmati senjamu, berdua denganmu”.
“Jika memang Tuhan mengijinkan, hari itu pasti menjadi hari yang sangat membahagiakan dalam seumur hidupku.
“Amin…”.
Kulihat senyummu menghiasi layar monitorku, sebuah senyum yang sering kugambarkan menjadi penghias senjaku, sebuah senyum yang selalu setia menemani setiap soreku.
“Mas.., kamu masih disana??”.
“Ya de’, masih…., masih kok”
“Kok diem??, makanya nyalain dong cam kamu, biar aku tahu kamu sedang apa”.
“Sabar De’, suatu hari aku akan membaginya ke kamu”.
“Kalo gitu aku matiin ya cam aku”.
“Jangan….., jangan dong, plezzzzzz, senyummu adalah happyku, jangan dimatikan ya, ya!!”.
“Terserah kamu deh, tapi janji ya kapan2 kamu mempelihatkan cam kamu”.
Hemmm…., seandainya saja kamu tahu perasaanku sekarang, sebuah peleburan antara perasaan ketakutan dan kebencian, katakutan akan menghilangnya sosok manismu jika mengetahui seperti apa aku, kebencian akan kekerdilan jiwaku yang tak sanggup membuka topeng diriku, maafkan aku De’, maafkan, biarkanlah rasa ini kunikmati sendiri, aku takut kehilangannya, hidupku mati tanpa senyummu, sapaanmu, leluconmu, dan semuanay tentangmu.

***
Jadilah senja dalam seumur hidupku, aku hanyalah sampah yang tak bernilai, menjadi bagian dari hari-harimu adalah sebuah keindahan dalam hidupku.

Akhirnya pilihan kata ini yang kukirimkan kepadamu sebagai pendamping kadoku, dengan hati-hati bungkusan mungil berpita kecil berisi sebuah boneka kristal lucu kumasukan ke sebuah kotak lain yang berukuran sedikti lebih besar, tak lupa kusisipkan sebuah kertas surat yang telah kutulis beberapa waktu sebelumnya didalamnya, dan taklupa kutuliskan alamat lengkapmu, aku ingin kado ini menjadi kado special di hari ulathmu.

Dengan penuh semangat kuhidupkan latopku, sebuah sapaan BUZZ mengagetkanku ketika baru saja kuhadirkan sosok mayaku di komputermu.

“Mas aku sudah menerima hadiahmu, aku merasa tersanjung mas, terimakasih ya”.
“Sama2 de’, aku senang jika kamu bahagia”.
“Aku ingin memebrimu hadiah juga, alamat lengkapmu dimana mas”.
“Tidak usah, kamu tidak perlu melakukan hal itu”.
“Tapi aku ingin memebrimu sesuatu, ulathku tahun lalu kemu memberik hadiah, kamarin  tanpa ada momen special apapun kamu juga mengirimiku hadiah, dihaei ultahku yang sekarang kamu juga berbuat demikian”.
“Kamu layak mendapatkannya De’, kamu sangat special”.
“Kenapa sih mas??, apa yang kamu sembunyikan dariku, kenapa aku meras kamu semakin menutup rapat jati dirimu”.
“Apa belum cukup photo yang aku kirimkan ke kamu waktu itu, atau kamu meragukan kalau photo itu adalah diriku???, sehingga sebuah cam atau pertemuan bisa memantapkan hatiku tentang siapa akus ebenarnya”. Kali ini nada kata-kataku sedikit tinggi, dan aku yakin kamupun merasakan hal yang sama.
“Maaf Mas, bukan begitu maksudku, aku hanya…, ah sudahlah lupakan saja”.
Maaf de’, maafkan aku aku belom siap membuka kedokku, aku belom siap kamu mengetahui siapa aku, beri aku waktu de’. Dan semoga foto orang lain yang kupasang sebagai identitas mayaku bisa membuatmu memperindah bayangan akan sosokku.
“Mas aku lusa mau kekotamu, ada sedikti urusan yang mesti aku selesaikan”.
Bagai tersengat listrik ketika kudengar kata-katamu, duhh Gusti, apa yang mesti hamba lakukan sekarang. Haruskan ini saat yang tepat membuka tabir sosok nyataku, ataukah aku harsu kembali lari dan lari dari kejaran keingintahuan gadisku.
“Mas??, alooooo??, are u there??”
“Hemmm…, ya, aku masih disini, kapan kamu akan kekotaku?”.
“Seminggu lagi, aku sendirian, nanti kalau dah sampai sana, kamu mau kan jadi pemanduku”.
Ya Alloh, Ya Rob…., sunguh aku tak mau kehilanagn bahagia kecilku ini, aku takut, aku takut dia berpaling ketika mengetahui semua rahasiaku, tolong hambamu ya Alloh.
“Baik, aku akan membantumu, kalau kamu sudah sampai hubungi aja no. telp ini”.kusebutkan sebuah kombinasi nomor cantik milik sahabatku, maafkan de’, aku terpaksa melakukan hal ini.
“Makasih ya mas, btw aku harus pergi sekarang, takecare ya Assalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam”, kujawab salammu sambil menahan ketakutan di hati.
Beregegas kutekan tombol off komputerku, dengan penuh harapan kucoba memepercepat langkahku menuju rumah sahabatku, Wahyu.

“Gila kamu ya, jadi selama ini photoku kamu pakai sebagai identitas dunia mayamu, bahkan no HPku juga kamu bagikan ke wanita itu?”. omel sahabatku ketika kumintai tolong untuk menjadi pengganti sosok diriku ketika dalam seminggu kedepan harus menemani cintamayaku.
“Tolonglah yu, aku ngak sanggup bersikap jujur padanya, dia begitu indah untukku, aku ngak mau kehilangan sosoknya”.
“tapi aku nggak bisa menjadi dirimu, aku ngak kenal dengan dia, bagaimana dia, topik pembiacaraan apa yang nanatinya bisa menyambungkan diantara kami??? Coba kamu pikir, kalau ternyata nanti dia malah merasa nggak nyambung denganku”.
“Gampang nanti aku akan memberikan gambaran detail tentang dia, aku akan mentrainningmu selama sehari ini, agar memudahkanmu mengenal sosoknya”.
“Kamu bener-bener gak waras ya, edan kamu”
“Aku akan jauh tidak waras jika melihat kekecewaaan dimatanya ketika mengetahui siapa aku sebenarnya”.


Nyanyian Hati


Sebuah nada khas berdering dari Hpku, nada khusus yang menandakan panggilan dari suamiku, aneh pikirku tak biasanya Abi meneleponku jam-jam segini, ternyata dia menelepon untuk mengajakku keluar, meski tidak jelas kemana tujuannya aku mengiyakan saja. Suamiku datang tepat setelah ku akhiri sholat maghribku, kulihat wajahnya tampak berseri-seri penuh semangat sampai-sampai dia seperti hendak berlari ketika menghampiriku.

“Ada apa sih Bi, tumben.. dandanan kamu rapi, hemmm…. harum banget”.
“He he he…”
“Jangan bilang kalo kamu mau menemui pacar kamu yah?”, tanyaku dengan pura-pura cemburu.
“Emang iya, aku khan mau menemui pacar terhebatku”.
“Oh ya, emang kamu sudah menemukan calon istri mudamu?, tanyaku menyelidik
“Hemm…., ada aja, he he he…., sudah siap belom kamunya Mi?,”
“Siap ?, siap apaan?, melamarkan wanita untuk jadi saudariku?”.

Kuperhatikan lagi dengan seksama wajah suamiku, tapi tak kudapatkan jawaban yang kuharap-harapkan, suamiku hanya mengangkat bahunya sedikit, sambil mengedipkan kedua matanya dengan lucu.
“Okey, siapa takut, kita berangkat sekarang?”, tanyaku dengan antusias meski hati kecilku sedikit ada rasa katakutan campur was-was.

Sepanjang perjalanan, perasaanku mendadak cemas, duh.. apa benar aku akan dipertemukan sama calon istrinya Abi, sambil berusaha menata hati kuperhatikan Abi bersenandung kecil sepanjang perjalanan, hmmm…. Abi kelihatan bahagia sekali, mungkin ini memang sudah waktunya. Masih teringat jelas olehku, percakapan kami 1 tahun yang lalu tentang tawaranku ke Abi untuk berpoligami dan sejak saat itu aku punya aktivitas baru yakni meyakinkan Abi untuk menyegerakan poligami dan juga hunting calon bidadari kedua untuk Abi. Mungkin terlihat konyol atau bahkan gila ada istri yang menyuruh suaminya poligami, tapi bagiku poligami bukanlah hal yang salah, bahkan aku akan sangat menantikan saat-saat itu, saat dimana imanku akan diuji dengan kesabaran dan rasa cemburu yang sangat luar biasa.

“Mi, sudah nyampek nih.. ayo turun !”, kata suamiku mengngagetkanku.
“Oh, ya ya.. sudah nyampek ya?”.

Setelah bersusah payah menata gejolak hati, keperhatikan sekitarku, tatapan mataku terhenti pada sebuah plang nama “Warung Apung”, hemmm… warung apung, sebuah tempat makan untuk keluarga yang merupakan tempat pertama kalinya aku bertemu suamiku, hampir 7 tahun silam. Pertemuan yang sengaja di rancang sahabatku untuk mempertemukan kami berdua. Apakah ini juga akan menjadi tempat pertemuan pertamaku dengan si calonnya Abi ?? Mendadak kakiku terasa lemas, serasa sulit sekali hendak melangkah dan kurasakan air mataku sudah mulai menggenang..

“Ayo Mi, kok malah diem?”. Kata suamiku sambil menggadeng mesra tanganku.
Hemmm…., kenapa aku mesti takut, bukankah ini yang aku nanti-nantikan, toh selama ini aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya, kalo memang sekaranglah saatnya, aku akan memulainya dengan senyum dan sepenuh hatiku.

Bismillaih…… doaku dalam hati.

Kami berdua menuju tempat, yang sepertinya sudah di pesan suamiku, tapi kok gak ada siapa-siapa, mana calonnya Abi ?? atau mungkin belom datang ya?, pikirku.
Hampir 10 menit kami menunggu pesanan datang tapi tak terlihat olehku calon saudariku, tapi aku juga tidak berani untuk sekedar bertanya pada suamiku.
“Mi, kuperhatikan dari tadi kamu kok diem aja?, gak suka ya aku ajak makan di luar?”.
Entahlah aku seperti tidak memiliki koleksi kata-kata untuk sekedar menjawab pertanyaan suamiku, otakku buntu sibuk memikirkan si calon saudariku, jadinya hanya senyuman kecil saja yang suami dapatkan sebagai jawaban pertanyaannya, meski wajahnya mengambarkan ketidakpuasan suamiku akhirnya diam juga.

“Bi, ..”, akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya.
“Sebenarnya, apa sih tujuan Abi mengajak Umi kemari?, Abi mau ngomong sesuatu ya?”. Kucoba untuk terus menekan Abi agar segera berbicara, sungguh aku sudah tidak sanggup lagi untuk menunggu.
“Mi, apa Umi sudah bener-bener yakin dengan keputusan Umi, mengikhlaskan Abi poligami?”.
Kucoba tersenyum semanis mungkin, berharap suamiku tidak melihat sedikitpun keraguan di mataku.
“Insya Alloh, Bi”. Kataku dengan mantap.
“Kalau Abi ternyata nantinya tidak mampu berbuat adil, gimana”.
“Insya Alloh, Umi akan mengingatkan”.

Kuperhatikan Abi sedang berfikir keras, matanya menatap nanar ke arahku, seolah-olah ingin mencari sedikit keraguan disana dan berharap ia mendapatkan sedikit alasan untuk membantah argumenku.
“Oh ya, mana nih si calonnya?, kok belum datang juga?” tanyaku kemudian untuk sekedar mengalihkan perhatian Abi, jujur aku merasa tidak nyaman kalau Abi sudah menatapku penuh selidik seperti itu.
“Sebenarnya, tujuan Abi mengajak Umi kemari bukan untuk meperkenalkan Umi dengan siapapun, Abi hanya berharap Umi mengingat memory indah kita, dan pada akhirnya Umi berfikir ulang tentang poligami, jujur Mi, sebenarnya yang pantas untuk nikah lagi itu Umi, seandainya saja Islam menghalalkan Poliandri, aku ingin Umi nikah lagi”.

“Masya Alloh Abi, Jangan Bilang begitu, Istighfar Bi”.
“Maaf Mi, Bukan maksudku untuk protes kepada Alloh, aku hanya ingin mengungkapkan isi hatiku, aku sudah capek berdebat dengan Umi, sekarang semuanya terserah Umi saja dan mengenai calon aku serahkan sepenuhnya ke Umi, aku yakin Umi tahu yang terbaik buat aku dan juga buat semuanya”.
"Bi, aku mohon jangan anggap ini hanyalah sebuah perdebatan, bagiku Abi adalah sosok suami idaman, harta abi punya, ilmu juga alhamdulilah, saya rasa sudah sepantasnya kalo Abi berpoligami, selain itu masyarakat saat ini membutuhkan contoh real tentang indahnya poligami, kasihan mereka hanya melihat poligami dari sisi yang menakutkan, aku ikhlas kok kalo Abi tampil sebagai contoh".
"Tapi Mi, kenapa harus keluarga kita?".                       
"Karena keluarga kita yang paham dan mau mencoba".

2 HARI KEMUDIAN
“Bi, aku mau memperkenalkan Abi pada seseorang”, Kataku di telepon waktu itu..
“Siapa?”, jawab suamiku tidak bersemangat.
“Aku sudah menemukan calon buat Abi, kita ketemuan yuk di tempat biasa, nanti mbaknya aku ajak juga”.
“Tapi Mi, aku agak sibuk sekarang”.
“Bi, aku tahu Abi nggak siap, dan sengaja mengulur-ngulur waktu, percayalah Bi semuanya akan berjalan dengan indah, Insya Alloh”.
“Hemmm…, bantu aku ya Mi”.
“Ya dong, selalu, Umi gitu lho he he he….”. jawabku sambil sedikit melucu.

Namanya Arum, umurnya lebih muda 1 tahun dariku, dia sudah 3 tahun menjanda dengan 2 orang anak, suaminya telah lebih dulu dipanggil Yang Diatas, saat ini dia hanya hidup dengan neneknya karena kedua orang tuanya sudah lama meninggal dunia. Anaknya manis, sabar dan sedikit pendiam. Dia adik kelasku ketika di SMU dulu, Aku sudah mengenal Arum luar dalam, bahkan akulah yang menjodohkan dia dengan almarhum suaminya yang merupakan sahabat dekatku.

Suamiku tidak mengiyakan, meskipun dia juga tidak secara terang-terangan menolaknya, tapi aku yakin Beliau memikirkannya, terbukti ketika malam harinya ku tanya tentang calon saudariku “Facenya mirip kamu ya Mi”, komentarnya malu-malu.

Perkenalan berjalan lancar dan kamipun menyegerakan pernikahan ini, namun 2 jam setelah akad nikah, suamiku jatuh pingsan dan dokter mendiagnosa Beliau terkena flu burung dan harus di rawat di rumah sakit di Ibu kota, saat kutahu Abi terkena penyakit yang memang saat  ini sedang mewabah di daerah kami, aku merasa sangat bersalah, bagaimana mungkin tanda-tanda sakitnya Abi tidak ku ketahui sama sekali, apa aku tidak lagi memiliki sedikitpun rasa perhatian ke Abi dan terlalu ngoyo dengan pernikahan ini ataukah memang si Abi yang sengaja menutupi semuanya, hampir 3 minggu Abi menjalani proses pengobatan dan selama itu pula anak-anak tiriku berada di bawah pengawasanku, karena tugas menjaga Abi aku serahkan ke maduku, selain karena banyaknya urusan pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan, juga itung-itung memberi kesempatan pada pasangan pengantin baru untuk berbulan madu.

Mungkin ini semua sudah takdir Sang Maha Pengatur, belum sempet Abi menikmati indahnya bulan madu keduanya secara wajar, beliau sudah menghembuskan nafas terakhirnya meninggalkan aku dengan sebuah hadiah indah “maduku” dan anak-anaknya. Aku sangat syok dengan semua ini bertahun-tahun aku mengusahakan pernikahan kedua suamiku, tapi rupanya Alloh berkehendak lain, bukan ujian kecemburuan yang aku dapatkan tapi ujian di tinggal suamiku yang justu kurasakan.

7 bulan aku menikmati hidup seatap dengan maduku dan anak-anaknya, tanpa suami ataupun Ayah bagi anak-anak kami,  Semua berjalan baik tidak pernah sekalipun kami menghadapi masalah yang berarti, bagiku maduku adalah adik terhebatku, anak-anaknya juga sangat manis dan mudah bergaul, ah….seandainya saja.

Tapi sungguh kehendak Tuhan memang penuh rahasia, lagi-lagi ujian itu datang, aku dilamar oleh Saudara jauh dari maduku untuk menjadi istri keduanya, beliau adalah seorang Murobbi yang memiliki usaha di bidang percetakan dan saat ini sedang mendapatkan ujian jabatan menjadi anggota dewan meski masa kerjanya tinggal 1 tahun lagi.

Ketika Mbak Fatih yang merupakan istri pertamanya melamarku untuk menjadi madunya, betapa kulihat bayangan diriku beberapa tahun yang lalu pada dirinya, meski telah kucoba mengajukan berbagai pendapat untuk sekedar menghindar dari tawarannya, namun semakin aku menolak semakin kuat pula permintaan yang dia tawarkan.

“Sungguh mbak, menjadi saudarimu adalah suatu keindahan, tapi aku belum siap jika harus mengambil jatah cinta atas diri suamimu”.

“Apa yang terjadi padamu wahai saudariku, mana pribadi anggunmu yang dulu pernah menjadi penghias dirimu, menjadi istri kedua suamiku tidaklah berarti kamu merampas cintanya dariku, seandainya saja kamu bisa melihat betapa luas dan melimpahnya kasih sayang yang Beliau miliki, niscaya kamu akan merasa malu telah berkata  demikian”. 

“Tapi mbak, bertahun-tahun aku mengusahakan pernikahan suamiku, kenapa sekarang kondisinya berbalik tak tertebak sedemikian mengejutkan, aku tak tahu bagaimana meski bersikap, beri aku waktu mbak”.
“Tentu Saudariku, pikirkan masak-masak, istikharohlah, tapi kalau misalkan pernikahan kedua suamiku adalah suatu keniscayaan, aku sangat yakin kamu mampu membantu suamiku untuk berbuat adil, seperti yang telah kamu usahakan terhadap almarhum suamimu dulu”.

Kini aku tidak lagi sibuk merayu suamiku untuk berpoligami, tapi kali ini aku sibuk menata hati dan diri agar bisa menjadi madu yang tidak sekedar mengambil jatah cinta orang lain, tapi turut serta secara bersama-sama menyuburkannya, karena bagaimanapun cinta dihati adalah hak sang maha berhak, kita sebagai manusia hanya mampu menjalankan segala skenario takdir atasnya, tanpa mampu mengendalikan arahnya.

Pernikahan keduakupun terlaksana dengan penuh khidmat dan haru, sepanjang prosesi air mataku tumpah tak terbendung karena masih tak percaya atas semua rahasia takdir hidupku, bahkan ketika suamiku memasuki kamar, aku masih tergugu tak percaya bahwa aku telah menjadi istri sahnya, dan sepertinya Beliaupun menyadari akan kegalauan hatiku. Dengan penuh lembut Beliau menyapaku.

“Assalamu’alaikum Mi?”, Subhanalloh, panggilan itu kini kudengar lagi dari mulut suamiku, laki-laki yang tak sama, yang kini telah menjadi Imam dalam seumur hidupku.

“Kita sholat Isya’ berjama’ah yuk?”, ajaknya kemudian ketika salamnya hanya mampu kujawab dalam hati.
Bergegas ku ambil wudlu, dan dengan sigap kugelar 2 sajadah untuk kami berdua, kali ini kurasakan sholatku sangat khusyuk luar biasa, dan untuk kesekian kalinya air mataku merembes dari sudut-sudut mataku, ketika kusimak do’a pajangnya sebagai permohonan do’a restu kepada sang pemilik segala, secara perlahan mulai kurasakan ketenangan di hati, galau itu kini meleleh mendekati sirna, semoga pernikahan ini menjadi sebuah keindahan yang penuh berkah, sebelum akhirnya kucium tangan suamiku sebagai tanda kepasrahan atas diri.