“Mahasuci Allah yang menguasai
(segala) kerajaan, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan
mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya. Dan Dia Maha perkasa, Maha pengampun. Yang menciptakan tujuh langit
berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan
Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adak`h kamu lihat sesuatu
cacat?”(QS. Al Mulk: 1-3)
Allah menciptakan apa-apa yang ada
di langit dan di bumi, agar kita mampu berfikir dan menelaah. Saat kita duduk
di tepi sungai, akan kita rasakan serasinya ciptaan Allah. Batu yang sangat
keras dan kokohnya, air yang mengalir sangat lembut. Tidakkah kita mampu
menerapkannya dalam kehidupan yang sebenarnya. Kita ambil ‘ibrah dari air
dan batu yang dapat bekerja sama dengan satu harmoni yang sangat indah sesuai
kehendak-Nya. Begitulah seharusnya kita bersikap dan bertindak dalam dakwah ini.
Dakwah ini tidak akan berjalan dengan segelintir orang saja, tetapi atas banyak
unsur yang berjalan dengan serasi. Begitu indah pelajaran yang bisa kita tarik
dalam setiap ciptaan-Nya.
Dakwah ini tidak akan berjalan
dengan selalu memperselisihkan tugas,
“Ini hak Antum, ini hak Ane. Ini
kewajiban Antum, dan ini kewajiban Ane,” Malulah kita dengan apa yang terjadi
dengan air dan batu. Tidak ada pertikaian di antara mereka. Kita sama-sama
muslim dan kita adalah saudara.
Memahami keadaan itu, kita akan
menemukan sebuah pelajaran penting dalam ukhuwah. Hati kita harus selalu dijaga
kelembutannya, agar ruh-ruh kita tetap bercahaya. Kita dalam dakwah ini bukan
saling terikat membebani, melainkan untuj saling tersenyum memahami dan saling
mengerti dengan kelembutan nurani.
Tertatih kita menjalani kehidupan
dalam dakwah ini, menyambung silaturahim yang terasa kering, dan hubungan yang
terasa sangat pahit. Saat kita memaknai dan menamakan hubungan ini karena Allah
maka semuanya akan terasa indah dan sejuk dalam sanubari.
Dakwah ini meniti jalan yang sangat
terjal dan berliku, penuh dengan onak dan duri. Kembali kita meluruskan niat,
mengokohkan tekad, menguatkan simpul komitmen kita dalam dakwah dan menunaikan
setiap tanggungan amal-amal yang harus di tunaikan. Tanpa harus memikulkan
tanggungan kita kepada yang lain, atau membebankan tugas yang seharusnya
dipikul bersama kepada sebagian dan bahkan seorang saja.
Berusaha mengukur sendiri kemampuan
diri untuk mampu mengukur kemampuan orang lain. Saat kita merasa itu berat bagi
kita jangan lantas di alihkan ke salah seorang ikhwah kita. Jangan tanyakan lagi tentang
keikhlasan kepada mereka, karena mereka akan dengan rela dibebani banyak tugas
meski yang lain dalam keadaan tenang karena bebas tugas. Yang mereka pikirkan
adalah pahala dan cinta dari Tuhannya.
Tapi apakah kita tega dan bersenang
hati melihat saudara kita terbebani? Dia tertatih dengan tugasnya sementara
kita menyibukkan diri dengan kehidupan pribadi?
“Cintailah orang lain sebagaimana
kau ingin dicintai. Perlakukanlah orang lain, sebagaimana kau ingin di cintai.”
Maka orang lain akan banyak yang
salah paham. Ada yang merasa tersakiti dan terluka dari cara kita
menyayanginya. Dan orang akan merasa kita tidak mencintainya padahal itu wujud
cinta kita padanya.
Maka gantilah bunyinya, “Cintailah
orang lain sebagaimana mereka ingin di cintai. Perlakukan orang lain dengan
cara sebagaimana mereka ingin diperlakukan.”
Dengan begitu maka dakwah dan
ukhuwah ini akan terasa indah. Tidak ada yang merasa hanya sebagian yang
terbebani dan sebagian bebas dari tugas.
Maka mencobalah untuk menanyakan
kepada saudara kita. Dan pahami setiap kemampuan diri kita adalah berbeda.
Dengan meminta masukan pendapat itu maka akan semakin menguatkan persaudaraan
dan melimpahkan ketulusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar